MENU

Kisah Usang Sang Sungging Dan Putri Senuro

Seorang Pati dari kesultanan Palembang bernama Abdul Hamid yang berasal dari keturunan kerajaan Pulau Jawa dan menetap di Kesultanan Palembang. Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya seperti rancang bangun, melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan rencana-rencana yang akan dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat dan sudah dipercaya layaknya anggota keluarga oleh Sultan.

Pada suatu masa seseorang bernama Syahdan  mendapat mandat dari Kesultanan Palembang untuk dibuatkan sebuah lukisan untuk permaisurinya kepada  Abdul Hamid, lalu Abdul Hamid menyanggupiya dengan senang hati. Siang dan malam dia melukis permaisuri demi Sultan. Mendekati  tahap akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan mendatangi Abdul Hamid dengan maksud ingin melihat hasil lukisan yang dibuat olehnya. Sultan kelihatan senang dan menunjukkan binar muka yang puas atas lukisan yang dikerjakannya.

Makam Usang Sang Sungging

Pada suatu malam, Abdul Hamid melanjutkan pekerjaannya melukis permaisuri dengan sangat hati-hati dan ahirnya dapat di selesaikannya dengan baik, sambil menatap hasil pekerjaannya, ia membayangkan wajah kegembiraan Sultan. Lama dia berdiam sampai dia tertidur sekejap. dan tanpa disadarinya tinta yang digunakannya menetes ke lukisan yang sudah jadi tersebut.

Keesokan harinya dengan perasaan bangga, Abdul Hamid menghadap Sultan dan menyerahkan lukisan yang dibuatnya. Alangkah terkejutnya dia, bukannya pujian yang diterima tetapi malah caci maki. Melihat lukisan tersebut, Sultan murka dan marah tanpa bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul Hamid dengan pertanyaan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid tahu kalau 
Makam Usang Sang Sungging

di paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi lalat sebagaimana hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pertanyaan tersebut Abdul Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya usut ternyata hasil tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh Abdul Hamid waktu dia mengantuk malam itu  jatuh tepat di paha sebelah kiri atas dari lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan Sultan menuduh jika Abdul Hamid telah berselingkuh dengan istrinya.
Mendapat tuduhan seperti itu, Abdul Hamid berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya. Akan tetapi, kemarahan Sultan sudah tidak bisa dibendung lagi. Lalu Abdul Hamidpun diminta meninggalkan istana bahkan diancam akan dihukum gantung. Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, Abdul Hamid beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan menggunakan perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus menyusuri sungai menuju pedalaman demi menghindari kejaran tentara Sultan.

Berbulan-bulan mereka mengayuh perahu. Dari Sungai Ogan menyusuri sebuah lebak yang dikenal dengan nama Lebak Meranjat. Suatu hari mereka beristirahat  di sebuah hutan belantara di hulu lebak Meranjat yaitu Tanjung Batu, yang pada akhirnya Abdul Hamid dan para pengawalnya menetap di sini, berdiam diri, bergaul di daerah tersebut sembari mengajarkan keahliannya dalam hal bertukang, memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan ajaran agama Islam serta turut serta merancang puncak Masjid Al-Falah Tanjung Batu yang sekarang masih berdiri kokoh di Kampung Tiga Tanjung Batu. Karena keahlian dan kepandaiannya kian hari keberadaan Abdul Hamid dan pengikutnya semakin mendapat tempat dihati penduduk. Karena berbagai keahliannya ini terutama sekali keahliannya sebagai tukang kayu dan tukang pahat, maka oleh penduduk setempat beliau diberi gelar Usang Sang Sungging (Sang Sungging).
Mimbar Masjid Al-Falah Tg. Batu

Selang beberapa waktu kehadiran beliau ini semakin terdengar dari mulut kemulut lalu masyarakat sekitar semakin penasaran apa benar Abdul Hamid adalah seorang ahli tukang kayu dan tukang pahat..?
Singkat cerita di daerah ini ada seorang puteri cantik yang tinggal 
Masjid Al-Falah Tg. Batu 
di hulu sungai dan menetap di sebuah dusun bernama Senuro. Mendengar kabar ini, Sang Sungging lalu mengirim utusan untuk mengadakan silaturahmi dengan Puteri tersebut. Sepulangnya dari tempat Sang Puteri, para utusannya membawa kabar baik bahwa maksud dan tujuan mereka diterima dengan baik dan tangan terbuka oleh Puteri. Utusannya juga bercerita bahwa Sang Puteri senang mengajarkan kepada penduduk setempat bagaimana cara mengerjakan kerajinan menganyam, membuat bakul dari kulit bambu dan membuat kerajinan lainnya.

Mendengar berita tersebut, Sang Sungging pun tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dan memutuskan untuk segera bertemu Sang Puteri. Setelah kedua insan tersebut berjumpa, diketahuilah bahwa Puteri tersebut bernama Nafisah. Konon karena kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah Pinang Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang Masak.

Siapa dan dari manakah asal usul Putri Senuro atau Putri Pinang Masak?

Puteri Senuro nama aslinya Nafisah berasal dari daerah Banten, Jawa Barat  sebelum sampai ke Desa Senuro ia bermukim di Empat Ulu Laut tepian Sungai Musi. Berita bermukimnya seorang puteri di ulu laut Palembang yang kecantikannya tiada tara serta tandingannya di seluruh kerajaan Palembang tersebar luas dikalangan anak pembesar kerajaan, serta menjadi pembicaraan hangat para pemuda di seluruh negeri, sehingga banyak yang berlomba ingin mendapatkannya. Berita ini didengar juga oleh Sultan Palembang sehingga timbullah hasrat Sultan untuk membuktikan kebenaran dari cerita tersebut dan melihat dari dekat kecantikan Sang Puteri. Jika memang benar, muncul hasratnya untuk menjadikan Sang Puteri sebagai gundik, penambah gundik yang telah ada di istana.

Sultan langsung mengutus beberapa pengawal istana untuk menjemput puteri dan membawanya ke istana. Sebelum para pengawal datang, puteri rupanya sudah lebih dulu mengetahuinya. Puteri sangat bersedih hati,  berusaha dan berikhtiar bagaimana caranya menghindari hal tersebut. Bahkan akhirnya Puteri bersumpah lebih baik mati daripada menjadi gundik Sultan. Namun puteri juga sadar bahwa untuk menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya adalah suatu upaya yang tidak mungkin.

Puteri dan keluarganya lalu mencari cara bagaimana mengelabui para pengawal istana yang hendak menjemputnya. Akhirnya munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka. Sebelum para pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang. Setelah dingin, air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh Puteri, akibatnya badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan menjijikankan dan kemolekannya menjadi hilang.
Ketika para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah, mereka sangat terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi ragu apakah benar orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri Nafisah yang kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu. Timbul keragu-raguan di hati mereka untuk membawa Puteri, namun karena ini adalah perintah Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka akhirnya mereka membawa juga Puteri Nafisah ke istana untuk dipersembahkan kehadapan Sultan.

Sesampai di istana mereka langsung menghadap Sultan berikut Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang berdiri dihadapannya, Sultan bertanya kepada para pengawalnya, apakah benar yang mereka bawa ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal kecantikannya tersebut. Dengan kalimat tercekat, para pengawal mengiyakan. Lalu Sultan mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah Puteri Nafisah. Mendapat pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja. Mendapatkan kondisi tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu Puteri Nafisah di usir keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang Puteri meninggalkan istana dan kembali kerumahnya.

Mengetahui tipu muslihatnya berhasil, Puteri dan keluarganya merasa senang tiada terkira. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun kemudian hidup tenang dan terlepas dari niat Sang Sultan. Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan semulus yang mereka harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata masih tetap menjadi buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun penasaran dan mengutus para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar yang berhembus tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan dengan sangat cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para penyelidik istana akhirnyamendapatkan fakta yang sebenarnya. Mereka juga mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap Sultan sebelumnya.

Mendengar laporan dari para penyelidiknya, Sultan marah bukan kepalang. Diperintahkannya kembali pengawal untuk menjebut Sang Putri secara paksa. Namun sebelum para pengawal istana sampai, para pengikut setia Sang Puteri segera menyampaikan berita tersebut. Mendapati berita itu, Puteri dan keluarganya sangat terkejut dan sedih bukan kepalang. Mereka berunding, usaha apa kali ini yang harus mereka lakukan untuk menghindari niat Sang Sultan. Setelah berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan adalah melarikan diri.

Dengan persiapan seadanya, di suatu malam, bersama dengan dua orang dayang dan dua orang pengawal, berangkatlah Puteri Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu) menuju ke uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan bersembunyi untuk menghindari kejaran para pengawal istana. Akhirnya sampailah mereka pada sebuah lebak yang cukup luas,  yaitu bernama Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang bernama Teluk Lancang, rejung atau perahu mereka dihadapkan ke teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai (payo) yang arusnya sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang mereka perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para pengawal istana.

Kedatangan seorang Puteri beserta dayang dan pengawalnya cepat tersebar di telinga penduduk sekitar. Penduduk pun beramai-ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri. Untuk menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang menjadi sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai dengan nama Sang Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut hidup dan menetap disana. Mereka berjanji akan menyertai dan menjaga puteri hingga akhir hayatnya.

Ditempat yang baru ini Sang Puteri menjadi buah bibir para pemuda dan anak-anak orang terpandang di sekitar wilayah tersebut. Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam hal membuat anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat memasak yang digunakan sehari-hari. Puteri juga terkenal dengan keahliannya dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air. Sampai akhirnya kabar kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar oleh Sang Sungging.

Sang Sungging begitu terharu mendengarkan cerita dan pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini. Ternyata mereka berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa kali pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat kerajinan, sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-anyaman. Sang Sungging juga mendengar jika Sang Puteri bisa membuat anyaman yang tidak tembus air.

Suatu hari Sang Sungging ingin dibuatkan masakan gulai kepada Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi permintaan itu. Setelah gulai masak, dibuatlah sebuah bakul dengan tudungnya untuk tempat gulai tersebut dan langsung dikirim kepada Sang Sungging. Mendapat kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung membuka bakul tersebut Sang Sungging, para pengawal dan murid muridnya   terkagum kagum dan  heran melihat tak  sedikitpun kua gulai itu  menetes keluar. Sang Sungging semakin percaya dan takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan umbangnya (hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus. Umbang kayu ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan dikirim kembali ke Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang tersebut kemudian dianyam menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul inilah yang kemudian menjadi wadah hantaran lauk pauk dari Sang Puteri ke Sang Sungging.

Kedua sejoli itu saling berlomba menunjukkan keahlian masing-masing sembari menjaga tali percintaannya menuju hari pernikahan. Persiapan demi persiapan pun mereka gencarkan demi menjelang pelaksanaan pernikahan. Sebelum pernikahan terjadi, datang beberapa orang pengawal Puteri Senuro menemui Sang Sungging membawa pesan bahwa Sang Puteri sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari sakitnya bertambah parah dan tidak menunjukkan kesembuhan.

Dalam kondisi sakit parah tersebut Puteri Senuro tetap memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia masih teringat dengan kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak mengalami nasib serupa. Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebelum meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang maha kuasa agar kelak anak cucu kaumnya di kampungnya biarlah tidak memiliki paras cantik seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.

Setelah melafazkan sumpah tersebut akhirnya Puteri Senuro menghembuskan nafasnya yang terakhir. Puteri wafat dengan meninggalkan empat orang dayang dan dua orang pengawal yang sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri lalu dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri Senuro atau putri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita yang menjunjung tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal, dayang-dayang dan pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di tempat itu, dan akan mati berkubur disamping kubur Sang Puteri.

Makam Sang Puteri beserta dayang dan pengawalnya juga masih bisa dijumpai di desa tersebut. dipelataran makamnya masih tergantung beberapa helai pakaian Sang Puteri dan oleh penduduk setempat makam putri senuro ini tetap di pelihara dan di beri kain kelambu.

Dengan adanya sumpah putri Senuro ini masih terngiang di telinga penduduk Desa setempat. Percaya tidak percaya, jika kita berkunjung ke desa tersebut maka kita akan menemui pemandangan seolah mencerminkan sumpah dari Sang Puteri. Apakah ini sebuah kebetulan? atau memang akibat dari sumpah Sang Puteri. Allahu ‘alam.

Bagaimana dengan Sang Sungging sendiri.

Kembali pada kisah Usang Sungging dikisahkan bahwa keahliannya dalam bertukang termasuk membuat ukiran yang diceritakan oleh penduduk desa tersebar dari mulut ke mulut akhirnya sampai juga di telinga Sultan. Sebelumnya, Sultan telah menyadari kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging. Setelah mendengarkan penjelasan dari Permaisurinya dan penasehat istana, Sultan berkesimpulan bahwa tetesan tinta yang membentuk tahi lalat di paha kiri atas pada lukisan istrinya murni akibat ketidaksengajaan Sang Sungging.

Sebagai wujud dari penyesalannya dan sekaligus untuk membuktikan cerita orang tentang keahlian Sang Sungging, Sultan mengirimkan utusannya. Melalui utusannya ini Sultan menyampaikan kekeliruannya dalam menilai Sang Sungging dan juga memesan daun pintu berukir. Singkat cerita, daun pintu tersebut dapat diselesaikan oleh Sang Sungging persis seperti yang dikehendaki oleh Sultan. Dari situ Sultan akhirnya benar-benar percaya dengan berita tersebut.

Lalu Sultan mengirimkan utusannya kembali, kali ini dalam misi mengajak Sang Sungging untuk kembali ke Istana. Namun karena Sang Sungging merasa sudah betah dan telah memiliki ikatan emosional dengan peduduk setempat, ajakan Sultan tersebut ia tolak dengan penjelasan dan alasan yang halus. Ia tetap pada pendiriannya, lalu bersama salah seorang muridnya yg bernama " Stai " untuk tinggal dan membangun bersama penduduk setempat sampai akhir hayatnya. Setelah meninggal, Sang Sungging akhirnya dimakamkan di sekitar desa pelariannya yaitu di seberang desa Tg. Batu atau Tg. Batu Seberang, .dan " Stai " ( Muridnya Usang Sungging ) di makamkan terpisah yaitu  di  sebuah kampung terpencil  yang sampai saat ini kampung  ini masyarakat setempat menyebutnya  Dusun Petai. Nama Dusun Petai berasal dari Kata Stai ( Nama seorang muridnya Usang Sungging ) atau biasa di sebut  ""Dusun Lamo""./ ( Desa Lama ).


Kisah Dusun Lamo, Tg. Baru Petai dan Tg. Batu Seberang

Kisah dusun lamo  masih ada ikatan dengan cerita Sang Sungging, terbukti dengan  adanya makam Usang Stai di dusun ini. “Usang Stai” adalah muridnya Sang Sungging. Dari tahun ketahun hingga berganti abat Masyarakat Dusun lamo ini  satu persatu hijrah ke daerah lain dan terpisah pisah, ada yg ke Sritanjung, Tg. Pinang, Sri Bandung, Pangkalan Benteng.dll. Mereka yg terpencar pencar  ini tidak membentuk kelompok tapi langsung menyatu dengan masyarakat yg telah ada sebelumnya. Dan Yang lebih banyak masyarakat dusun lamo  pindah berkelompok yaitu di wilayah Tanjung Batu
Keramat Makam Usang Stai Muridnya Usang  Sungging di Dusun Lamo.
Gundukan tanah yg saya pegang"arah Kepala "

Keramat Usang Stai
Dengan bekal seadanya mereka pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan hanya membawa harta bendanya yang dapat di muat dalam rejungnya atau perahu , Mereka pergi meninggalkan sebuah masjid yg mereka cintai yang di bangun secara gotong royong di kampungnya, Maaf ketika saya datang ke lokasi ini masalah bekas bangunan Masjid ini tidak tergagas oleh saya padahal menurut cerita para sesepuh bekas bangunanan Masjid itu masih ada. Nantikan kisah selanjutnya Insya Allah saya akan kembali melancong ke lokasi ini lagi.  Mereka begitu beratnya meninggalkan masjid ini, namun apa daya tak mungkin akan ikut di bawa pindah. Masyarakat Dusun lamo cukup terkenal  keta’atannya pada ajaran agama islam, dengan memakai perahu menyelusuri lebak lalu menyeberangi sungai yang cukup deras yaitu sungai Bule lempur.


Lebak Tanjungan dan Laut Gebang.


Hasil gambar untuk tanjung batu seberang
Laut Gebang / Tanjungan
Makam Usang Stai Muridnya
Usang Sang Sungging
Menurut cerita para sesepuh, laut yang memisahkan dusun lamo ini ( Laut Tanjungan ) dahulunya sangat dalam dan bersih, dengan riak gelombang air yang cukup besar dan tempat para nelayan tradidisional masyarakat setempat mencari ikan serta sesekali sebagai jalur lintas kapal asing dan bersandar, laut ini terhubung ke beberapa kampung/desa sekitar  hingga sampai kesebuah kampung, dimana kampung ini sebagai salah satu lokasi  pesawat Jepang mendarat ( Zaman Penjajahan  Jepang ) terdapat lokasi lapangan kapal terbang yaitu kampung Ketiau atau desa ketiau.

Pada tahun 1990an saya sendiri pernah melancong ke lokasi ini dan memang benar lapangan itu masih ada namun sekarang tak tahu apa yg terjadi apa masih ada atau tidak, yang jelas kondisi hutan hutan itu kini tidak ada lagi mulai dari daratan lebak meranjat sampai ke paling hulu kecamatan Tg. Batu semuanya di jadikan area perkebunan tebuh oleh pemerintah. Saya tidak tahu  sekarang  bekas lapangan terbang itu masih ada atau tidak.
Pohon Asam Kumbang
Kembali pada pokok bahasan. Sesampainya di tempat tujuan  mereka mendirikan bangunan seadanya sebagai tempat tinggal dan menetaplah mereka di kampung ini yang cukup nyaman menurut mereka karena dusun lamo banyak binatang2 buas. lambat laun lokasi ini semakin berkembang menjadi sebuah  kampung. Pendek cerita semua masyakat dusun lamo hijrah ke kampung ini hingga semakin lama semakin berkembang wilayahnya maka berdirilah sebuah kampung menjadi sebuah desa yaitu desa Tg. Baru Petai.

Di lokasi yang baru ini belum ada masjid, bila mereka mau sholat jum’at, mereka harus pergi ke kampung sekitar ada yg ke desa Tg. Batu ada yg ke desa Pajar bulan, Senuro atau kampungnya putri senuro dll. Suatu hari mereka sepakat bermaksud akan mendirikan sebuah masjid namun lokasinya atau letak bangunannya selalu di permasalahkan, rembuk punya rembuk mereka punya dua opsi lokasi, ada yg mau lokasi pembangunan masjid ini di tengah perkampungan, sebagian lagi ada yang mau lokasinya di hulunya lagi yang menurut mereka ini, lokasinya lebih strategis karena kelak akan menjadi jalur umum. 
Masjid Al-Hijrah. Tg.Baru Petai

Dari hari ke hari minggu ke minggu berganti bulan dan pada ahirnya tidak ada ke sepakatan masalah lokoasi pembangunan masjid ini, hingga mereka terpecah menjadi dua kelompok hingga berkembang sampai sampai membuat  batas  wilayah kampung masing masing dan terbelah menjadi dua kampung atau dua desa. Ada desa Tg. Baru Petai Nama Masjidnya yaitu masjid Al-Hijrah dan  desa Tg. Batu Seberang nama masjidnya Masjid Al-Ikhlas.  Kedua desa ini masih satu keturunan satu nenek moyang dan di pisahkan oleh pembatas desa yaitu Metungan atau Gorong gorang Air yang terletak di tengah tengah desa.
Masjid Al-Ikhlas. Tg. Batu Seberang

Sebagaimana disinggung diatas, dari kedua desa ini memiliki hubungan erat satu sama lainnya yang tak bisa di pisahkan, dengan terbentuknya pola mata pencaharian penduduknya cerminan dari Usang Sungging dengan keahliannya sebagai tukang kayu dan pembuat kerajinan dari tangan telah mewariskan bidang usaha pertukangan / pembuatan rumah panggung yang sekarang dikenal dengan rumah Knock down ) Tg. Baru Petai dan Tg. Batu Seberang, .Kerajinan tangan seperti perhiasan pengantin (dari kuningan),  pembuatan perhiasan dari emas dan perak.Tg. Batu dan Tg. Atap serta pandai besi (pembuatan golok dan pisau dari besi) Tg. Pinang, Tg. Laut dll.

Ada dua versi  kisah tentang terbentuknya dua desa ini (Desa Tg. Baru Petai dan Tg. Batu Seberang ) Versi pertama yang telah di bahas di atas dan Versi ke dua kita akan masih minta keterangan dari para sesepuh desa. Nantikan kisah  selanjutnya…! 

3 komentar:

  1. Legenda Menarik, patut di angkat ke layar lebar

    BalasHapus
  2. Bagus Ceritanya. Salam buat Admin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks,dah mampir, Gan..salam kenal juga.

      Hapus

Gunakan kotak komentar untuk bertanya, menambahkan, memberi saran serta berdiskusi. Jangan Spam dan berbau SARA. (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan)